PELATIH Nasional Wartawan PWI, Asnawin, membawakan materi "Pengantar Jurnalistik" pada Perkampungan Jurnalistik yang digelar Himaprodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, di Asrama Yonif 726 Takalar, Jumat, 17 Oktober 2014. (ist)
-------------------
Meskipun memiliki Kode Etik, wartawan dan guru sebenarnya tidak masuk dalam kategori sebagai sebuah profesi, karena banyak wartawan yang tidak pernah mengikuti pendidikan kewartawanan, dan juga tidak semua guru pernah mengikuti pendidikan keguruan.
Profesi, kata Pelatih Nasional Wartawan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), Asnawin Aminuddin, adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian atau keterampilan tertentu, sehingga tidak sembarang orang boleh melakoni sebuah profesi, misalnya dokter, pengacara, atau hakim.
“Apa ada dokter yang bukan sarjana kedokteran? Apa ada pengacara atau hakim yang bukan sarjana hukum? Tidak ada bukan? Bagaimana dengan guru dan wartawan? Apakah semua wartawan pernah mengikuti dan mengantongi ijazah pendidikan jurnalistik? Apakah semua guru pernah mengikuti pendidikan keguruan dan mengantongi ijazah sarjana pendidikan?,” tanyanya.
Hal tersebut diungkapkan Asnawin saat membawakan materi “Pengantar Jurnalistik” pada acara “Perkampungan Jurnalistik 2014”, yang digelar Himpunan Mahasiswa Program Studi (Himaprodi) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, di Asrama Yonif 726 Takalar, Jumat, 17 Oktober 2014.
Meskipun demikian, lanjut pengurus PWI Sulsel, wartawan tetap boleh membuat Kode Etik Jurnalistik (KEJ) atau Kode Etik Wartawan, dan para guru pun boleh-boleh saja membuat Kode Etik Guru.
“Wartawan dan guru boleh-boleh saja membuat kode etik, karena pada dasarnya kode etik itu adalah etika yang mengikat masyarakat dalam sebuah profesi. Jadi tujuannya, agar para wartawan dan guru memiliki norma dan etika dalam menjalankan profesi masing-masing,” papar Asnawin.
Menurut dia, kebanggaan seorang wartawan bukan terletak pada kartu pers dari media masing-masing dan kartu pers dari organisasi wartawan, melainkan dilihat dari karya-karya jurnalistiknya.
“Kartu pers yang dikantongi wartawan tidak ada artinya kalau mereka tidak menghasilkan karya jurnalistik, karena pada dasarnya wartawan itu adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik,” tandas Asnawin, yang sehari-hari menjabat Pemimpin Redaksi Majalah Almamater.
Ketua Panitia “Perkampungan Jurnalistik 2014”, Muhammad Ilham Syahril, mengatakan, kegiatan yang digelar selama empat hari (16-19 Oktober 2014) tersebut, diikuti sekitar 150 mahasiswa baru Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Unismuh Makassar.
“Pelatihan jurnalistik kami agendakan setiap tahun dan diikuti mahasiswa baru prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,” ungkap Ilham. (dina)
-------------------
Wartawan dan Guru Bukan Profesi
Meskipun memiliki Kode Etik, wartawan dan guru sebenarnya tidak masuk dalam kategori sebagai sebuah profesi, karena banyak wartawan yang tidak pernah mengikuti pendidikan kewartawanan, dan juga tidak semua guru pernah mengikuti pendidikan keguruan.
Profesi, kata Pelatih Nasional Wartawan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), Asnawin Aminuddin, adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian atau keterampilan tertentu, sehingga tidak sembarang orang boleh melakoni sebuah profesi, misalnya dokter, pengacara, atau hakim.
“Apa ada dokter yang bukan sarjana kedokteran? Apa ada pengacara atau hakim yang bukan sarjana hukum? Tidak ada bukan? Bagaimana dengan guru dan wartawan? Apakah semua wartawan pernah mengikuti dan mengantongi ijazah pendidikan jurnalistik? Apakah semua guru pernah mengikuti pendidikan keguruan dan mengantongi ijazah sarjana pendidikan?,” tanyanya.
Hal tersebut diungkapkan Asnawin saat membawakan materi “Pengantar Jurnalistik” pada acara “Perkampungan Jurnalistik 2014”, yang digelar Himpunan Mahasiswa Program Studi (Himaprodi) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, di Asrama Yonif 726 Takalar, Jumat, 17 Oktober 2014.
Meskipun demikian, lanjut pengurus PWI Sulsel, wartawan tetap boleh membuat Kode Etik Jurnalistik (KEJ) atau Kode Etik Wartawan, dan para guru pun boleh-boleh saja membuat Kode Etik Guru.
“Wartawan dan guru boleh-boleh saja membuat kode etik, karena pada dasarnya kode etik itu adalah etika yang mengikat masyarakat dalam sebuah profesi. Jadi tujuannya, agar para wartawan dan guru memiliki norma dan etika dalam menjalankan profesi masing-masing,” papar Asnawin.
Menurut dia, kebanggaan seorang wartawan bukan terletak pada kartu pers dari media masing-masing dan kartu pers dari organisasi wartawan, melainkan dilihat dari karya-karya jurnalistiknya.
“Kartu pers yang dikantongi wartawan tidak ada artinya kalau mereka tidak menghasilkan karya jurnalistik, karena pada dasarnya wartawan itu adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik,” tandas Asnawin, yang sehari-hari menjabat Pemimpin Redaksi Majalah Almamater.
Ketua Panitia “Perkampungan Jurnalistik 2014”, Muhammad Ilham Syahril, mengatakan, kegiatan yang digelar selama empat hari (16-19 Oktober 2014) tersebut, diikuti sekitar 150 mahasiswa baru Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Unismuh Makassar.
“Pelatihan jurnalistik kami agendakan setiap tahun dan diikuti mahasiswa baru prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,” ungkap Ilham. (dina)
------------------------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar