Rabu, 13 Maret 2013

Parpol dan Presiden Banci




Alkisah di sebuah negeri, sang presiden membuat kesepakatan dengan sebuah parpol besar untuk saling-mendukung satu sama lain. Parpol tersebut sepakat mendukung dan turut memperjuangkan sang presiden untuk maju kembali sebagai calon presiden pada Pilpres mendatang. (int)






------------------

Parpol dan Presiden Banci


Oleh: Asnawin
(Pemerhati Seni-Budaya)

Alkisah di sebuah negeri, sang presiden membuat kesepakatan dengan sebuah parpol besar untuk saling-mendukung satu sama lain. Parpol tersebut sepakat mendukung dan turut memperjuangkan sang presiden untuk maju kembali sebagai calon presiden pada Pilpres mendatang.
Kesepatan dan kemesraan pun diperlihatkan kepada publik. Beberapa parpol lain juga turut mendukung sang presiden. Singkat cerita, sang presiden akhirnya benar-benar terpilih kembali menjadi presiden.
Kemesraan antara sang presiden dengan parpol besar itu kemudian berlanjut. Sang presiden memberikan jatah beberapa menteri dan jabatan strategis lainnya di pemerintahan dan di badan usaha milik negeri.
Di saat sang presiden menyusun kabinetnya, beberapa parpol lain yang tadinya tidak mendukung bahkan berseberangan dengan sang presiden dalam Pilpres, termasuk parpol yang pernah berkuasa, ngotot masuk dalam pusaran kekuasaan.
Karena sang presiden tidak percaya diri menjalankan pemerintahan kalau hanya bersama-sama dengan parpol pendukungnya dalam Pilpres, maka parpol “penumpang” pun diikutkan dalam pemerintahan dengan memberikan jatah beberapa menteri dan jabatan strategis lainnya.
Sang presiden bersama parpol yang mendapat jatah menteri dalam kabinet, kemudian membentuk koalisi yang bertujuan memperkuat posisi pemerintahan di bawah komando sang presiden.
Dalam perjalanannya, parpol besar yang sejak awal menjalin kebersamaan dan menjadi pendukung sang presiden, seolah-olah menjadi “orang asing” di koalisi. Sebaliknya, parpol yang baru masuk dan bukan pendukung presiden dalam pilpres, seolah-olah menjadi sahabat dan teman lama sang presiden.
Lama-kelamaan Parpol besar pendukung sang presiden, menjadi semakin asing dan terkucil dalam koalisi, terutama karena sering mengeritisi dan mengambil kebijakan berseberangan dengan pemerintah dan parpol koalisi.
Karena sering berseberangan dengan kebijakan pemerintah dan parpol pendukung pemerintahan, jatah menterinya pun dikurangi. Namun, karena masih sering mengeritisi dan berseberangan dengan kebijakan pemerintah, parpol besar ini pun akhirnya mendapat desakan dari para anggota koalisi untuk “angkat kaki” meninggalkan perahu koalisi.
Ironisnya, parpol besar ini tidak mau meninggalkan koalisi, apalagi memundurkan orang-orangnya dalam kabinet, karena mereka merasa apa yang dilakukan selama ini didasarkan atas tanggungjawab dan demi kepentingan lebih besar.
Selain itu, mereka merasa bukan mengikat kontrak politik dengan parpol koalisi yang memang baru terbentuk pascapilpres, melainkan langung dengan sang presiden.
Seolah bermuka tebal dan berkuping tuli, parpol besar tersebut tetap percaya diri berada di dalam pemerintahan, serta tidak memerdulikan berbagai komentar miring dari berbagai kalangan.
Dengan penuh percaya diri, beberapa pengurus teras parpol besar itu tampil di beberapa stasiun televisi dan berkomentar di berbagai media massa, bahwa mereka akan tetap berada dalam koalisi dan di pemerintahan, selama sang presiden tidak mendepak mereka.

Rakyat Menunggu

Tudingan miring pun dilontarkan parpol lain dan rakyat negeri. Mereka menuding parpol besar itu tidak mau meninggalkan koalisi, karena takut kehilangan kursi menteri dan beberapa jabatan strategis lainnya di pemerintahan.
Ada juga yang menilai parpol tersebut sebagai parpol banci, karena tidak punya pendirian yang tegas. Di satu sisi, mereka selalu mengeritisi pemerintahan, tetapi di sisi lain orang-orangnya juga tetap berada di pemerintahan.
Padahal, idealnya parpol besar yang tidak seiring-sejalan dengan pemerintahan dan parpol anggota koalisi, seharusnya bersikap jantan keluar  dari koalisi dan menjadi parpol oposisi.
Tudingan penakut, peragu, dan banci juga dialamatkan kepada sang presiden, karena sang presiden tidak berani mendepak parpol besar itu dari koalisi, dan juga enggan mengeluarkan mereka dari pemerintahan.
Kini rakyat negeri masih menunggu sikap tegas dari parpol besar itu dan dari sang presiden. Rakyat negeri pun membuat tebak-tebakan, siapakah yang lebih dulu mengambil sikap tegas, apakah parpol tersebut yang lebih dulu menyatakan keluar dari koalisi dan pemerintahan, atau sang presiden yang lebih dulu mengeluarkan mereka.

 Keterangan: Tulisan ini dimuat di harian Fajar, Makassar, Rabu, 11 April 2012.

[Terima kasih atas kunjungan dan komentar Anda di blog Asnawin Aminuddin]

Tidak ada komentar: