KISAH
Bahlul dan Kursi
Kekuasaan
Bahlul si sufi nyentrik suatu hari
mendatangi istana Khalifah Harun Ar-Rasyid. Tiba di istana ternyata suasana
sangat lengang. Tidak ada orang yang berada di ruang singgasana kursi kekuasaan
khalifah.
Otaknya pun bekerja dengan cepat. Sebagai
sufi nyentrik, Bahlul memang selalu berpikir dan berbuat di luar kebiasaan.
Nalarnya berbeda dengan nalar sebagian besar orang.
Bahlul kadang-kadang bicara sendiri,
ketawa sendiri, atau menangis sendiri dalam perenungannya. Dia hidup bebas, berkeliaran,
tinggal di gubuk dan sering pergi ke pekuburan seorang diri.
Dia juga kerap berpakaian kotor, kumal
seperti orang gila. Karena itulah dia dipanggil Bahlul yang artinya Si Bodoh.
Ada pula yang menyebutnya Bahlul al-Majnun yang artinya Si Bodoh yang Gila.
Saat melihat tidak ada orang dan kursi
kekuasaan khalifah tidak ada yang mendudukinya, maka ia pun segera ke
singgasana khalifah dan duduk di sana. Tidak ada rasa takut sedikit pun. Ia
duduk sambil bersiul-siul. Siulannya terdengar oleh pengawal kerajaan dan para
budak.
Para pengawal pun berdatangan dan
mencambuk Bahlul hingga badan si Bahlul kesakitan. Tetapi ia sama sekali tidak
berteriak. Ia menahan sakit yang dideritanya. Para pengawal semakin marah dan
kemudian menyeret Bahlul turun dari kursi kekuasaan raja, lalu melemparkan
Bahlul keluar ruang singgasana khalifah.
Meskipun ia mampu menahan sakit akibat
cambukan dan diseret keluar ruangan, Bahlul tak kuasa menahan tangis. Saat
itulah Khalifah Harun datang. Khalifah heran melihat Bahlul menangis.
“Mengapa engkau menangis?” tanya khalifah.
Seorang budak kemudian menceritakan
kejadian sejak Bahlul datang, duduk di singgasana khalifah, bersiul-siul,
hingga akhirnya dicambuk dan diseret oleh pengawal kerajaan. Mendengar
penjelasan tersebut, khalifah langsung marah dan memarahi pengawal. Setelah itu
ia mencoba menghibur Bahlul.
Bahlul berkata ia memang menangis tapi
bukan karena kesakitan. Ia tidak menangisi keadaannya yang dicambuk dan diseret
oleh pengawal, tetapi ia justru menangisi keadaan Khalifah Harun.
“Wahai khalifah, saya tidak menangisi
keadaan saya karena dicambuk dan diseret turun dari kursi khalifah,” kata
Bahlul.
“Lalu apa yang membuatmu menangis?” tanya
Khalifah Harun.
“Saya menangis justru karena saya kasihan
kepada khalifah,” kata Bahlul.
“Apa maksudmu?” tanya Khalifah Harun
penasaran.
“Wahai khalifah, saya hanya sebentar duduk
di singgasana khalifah, di kursi kekuasaan khalifah, lalu saya mendapat
pukulan, dicambuk dan diseret. Saya
bayangkan khalifah nanti setelah turun dari tahta, pasti akan menanggung banyak
kesulitan dan derita, baik saat khalifah masih hidup maupun setelah mati nanti.
Karena terlalu banyak yang khalifah akan pertanggungjawabkan selama menjabat
khalifah dan duduk di kursi kekuasaan,” tutur Bahlul.
Khalifah terdiam dan kemudian merenung
memikirkan kata-kata Bahlul. (asnawin aminuddin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar