EMPAT KIAI. Dari kiri ke kanan, KH Nasruddin Razak, KH Iskandar Tompo, KH Dahlan Yusuf, dan foto bawah KH Abdullah Renre. Keempat tokoh Muhammadiyah Sulsel ini wafat dalam tempo lima bulan.
Senin, 17 Januari 2022
Empat
Kiai-nya Wafat, Peringatan Bagi Muhammadiyah Sulsel
Oleh:
Asnawin Aminuddin
(Wakil Ketua Majelis
Pustaka dan Informasi Muhammadiyah Sulsel)
Pertama, KH Nasruddin Razak.
Beliau adalah mantan dosen Universitas Diponegoro (Undip) Semarang kemudian
beralih menjadi dosen Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar.
Di persyarikatan
Muhammadiyah, KH Nasruddin Razak yang kelahiran Rappang, 06 Maret 1938,
menjabat Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Sulsel periode 2000 – 2005.
KH Nasruddin Razak wafat dalam usia 83 tahun.
Kedua, KH Abdullah Renre.
Beliau adalah doktor sejarah Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin
Makassar. Pria kelahiran Sinjai, 31 Desember 1949, pernah dua periode menjabat
Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Gowa.
Beliau wafat saat masih
mengemban amanah Wakil Ketua Muhammadiyah Sulsel, dan Direktur Pesantren Ulama
Tarjih (PUT) Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar.
Ketiga, KH Iskandar Tompo.
Beliau juga wafat saat masih menjabat Wakil Ketua Muhammadiyah Sulsel. Pria
kelahiran 02 September 2021, dikenal sebagai kader tulen Muhammadiyah.
KH Iskandar Tompo meniti
kekaderannya dari Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) bahkan pernah mendapat
amanah sebagai Ketua Umum Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) Wilayah Sulawesi
Selatan dan Tenggara (Sulselra, periode 1975-1978), dan Ketua Umum Pemuda
Muhammadiyah Sulawesi Selatan dan Tenggara (Sulselra, 1986-1990).
Pria kelahiran 08 Januari
1949, semasa hidupnya pernah menjadi Anggota DPRD Sulsel (1999-2004), Anggota
DPRD Makassar (2004-2009), Pimpinan Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah
Sulawesi Selatan Gombara Makassar (1992 s/d 1993), serta Sekretaris Badan
Pembina Harian (BPH) Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar.
KH Abdullah Renre dan KH
Iskandar Tompo wafat dalam usia 72 tahun. Keduanya lahir pada tahun 1949, dan
wafat pada tahun 2021.
Keempat, KH Dahlan Yusuf.
Beliau adalah Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kementerian Agama (Kemenag), dan
pernah menjabat Kepala Kantor Departemen Agama (Kakandepag) Kabupaten Sinjai,
lalu kemudian pejabat di Kemenag Sulsel hingga pensiun.
KH Dahlan Yusuf, sebagaimana
KH Abdullah Renre, dan KH Iskandar Tompo, juga pernah mendapat amanah sebagai
Wakil Ketua Muhammadiyah Sulsel, dan juga pernah aktif di kepengurusan Majelis
Ulama Indonesia (MUI) Sulsel dan pengurus IMMIM. Beliau wafat dalam usia 80
tahun.
Bukan
Peristiwa Biasa
Yang ingin saya sampaikan
dalam tulisan ini yaitu kehilangan empat kiai dalam tempo lima bulan, bukanlah
peristiwa biasa-biasa saja bagi Muhammadiyah Sulsel, karena sangat tidak mudah
menghasilkan tokoh yang akhirnya mendapat gelar kiai dari masyarakat.
Saya cukup mengenal
keempat tokoh yang sudah almarhum ini. Mereka berempat sesungguhnya merasa risih
mendapat gelar dan panggilan kiai, bahkan KH Abdullah Renre berkali-kali
menyatakan menolak dipanggil kiai.
“Saya sering dipanggil
kiai, tapi saya menolak gelar itu, karena saya merasa tidak pantas,” kata KH
Abdullah Renre dalam beberapa kesempatan.
Sikap tersebut
menunjukkan betapa tawadhu-nya beliau, dan betapa beliau tidak berambisi
mengejar gelar kiai. Sesungguhnya orang-orang seperti inilah yang pantas
mendapatkan gelar kiai.
Muhammadiyah Sulsel (termasuk
Aisyiyah Sulsel dan Pimpinan Daerah Muhammadiyah se-Sulsel) memang memiliki
banyak sekolah, pondok pesantren, perguruan tinggi, bahkan ada juga lembaga
pengkaderan khusus Ma’had Al-Birr dan Pesantren Ulama Tarjih (PUT) di Unismuh
Makassar.
Muhammadiyah Sulsel juga
tidak kekurangan kader yang aktif berorganisasi mulai dari IPM, Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Pemuda Muhammadiyah, Tapak Suci Putra
Muhammadiyah, Nasyiatul Aisyiyah, dan Aisyiyah.
Pun banyak yang berproses
sebagai da’i atau penceramah agama, tapi sangat sedikit di antara mereka yang
akhirnya mendapat gelar kiai. Mungkin bisa dihitung dengan jari.
Pengurus Muhammadiyah
Sulsel dan pengurus Muhammadiyah daerah se-Sulsel sudah banyak yang bergelar
doktor, bahkan ada yang guru besar alias profesor, tapi sangat kecil
persentasenya yang konsen atau konsisten berdakwah di mimbar-mimbar masjid dan
mimbar-mimbar pengajian.
Akibatnya, Muhammadiyah
memang dikenal dengan berbagai amal usahanya, mulai dari sekolah, pondok
pesantren, perguruan tinggi, rumah sakit, dan lain-lain, tapi orang-orang
Muhammadiyah tidak dikenal di tengah masyarakat, khususnya di masjid-masjid,
karena memang tidak terlalu banyak kader Muhammadiyah yang aktif berdakwah di
masjid atau mengisi pengajian.
Padahal da’i yang rajin dan
konsisten berdakwah inilah yang akhirnya mendapat gelar kiai dari masyarakat.
Sebenarnya bukan gelar
kiai-nya yang ingin dikejar, melainkan keberadaan mereka di tengah masyarakat,
di tengah umat, serta pengakuan dari masyarakat, khususnya umat Islam, bahwa
pengurus dan kader Muhammadiyah juga banyak yang pendakwah, banyak yang
konsisten berdakwah hingga usia tua, serta banyak yang luas wawasan dan dalam
ilmu agamanya.
Kiai
Wafat, Ilmu Dicabut
Di sisi lain, wafatnya
para kiai secara tidak langsung merupakan bagian dari proses dicabutnya ilmu di
tengah masyarakat, khususnya ilmu agama di tengah umat.
Dari Abdullah bin Amr bin
Ash radiallahu anhu, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda: “Sesungguhnya
Allah Subhanahu Wata’ala tidak mencabut ilmu sekaligus dari hamba-Nya, tetapi
Dia mencabut ilmu tersebut dengan diwafatkannya para ulama. Sehingga, tidak ada
satu ulama pun yang tersisa. Pada saat itulah manusia mengangkat pemimpin dari
mereka yang bodoh. Dan pada saat pimpinan yang bodoh tersebut ditanyai, maka
para pemimpin tersebut memberikan fatwa tanpa berdasarkan ilmu, sehingga mereka
tersesat dan menyesatkan. (HR Bukhari dan Muslim)
Muhammadiyah sebagai
organisasi Islam terbesar di Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan,
hendaknya memperhatikan masalah ini. Wafatnya empat kiai dalam tempo lima
bulan, bukanlah peristiwa biasa-biasa saja.
Ini adalah peringatan
bahwa Muhammadiyah harus terus-menerus mencetak da’i dan ulama, baik melalui
pendidikan formal, maupun pendidikan non-formal, serta mendorong dan membantu
para da’i dan ulama tersebut untuk terus menerus menambah dan mengembangkan
ilmunya.
Cara yang bisa ditempuh antara
lain Muhammadiyah sebaiknya sesering dan sebanyak mungkin mengadakan pengajian
rutin, baik di masjid-masjid, maupun di berbagai kegiatan lainnya.
Muhammadiyah harus hadir
di tengah umat, hadir di tengah masyarakat, dengan cara mengisi pengajian di
masjid-masjid dan pengajian-pengajian yang diadakan oleh masyarakat, lembaga,
kantor, maupun organisasi-organisasi.
Mudah-mudahan dengan cara
itu, Muhammadiyah Sulsel tidak kekurangan da’i, tidak kekurangan ulama, dan
juga tidak kehabisan kiai.
Sabtu, 15 Januari 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar