Dari kiri ke kanan: akademisi/praktisi politik Mahmud Nuhung, Sekretaris Majelis Tarjih Muhammadiyah Sulsel Abdillah Mustari, akademisi Unhas Adi Suryadi Culla, Anggota DPD RI Iqbal Parewangi, (paling kiri) didampingi Koordinator Bidang Syiar, Humas, dan Dokumentasi Panitia Penerima Muktamar ke-47 Muhammadiyah dan Aisyiyah, Husni Yunus, pada dialog publik, di Makassar, Kamis, 30 April 2015. (Foto: Asnawin)
—–
Muktamar Muhammadiyah 2015 Harus Punya “Dentuman”
Semangat untuk menjadikan Muktamar ke-47 Muhammadiyah di Makassar, 3-7 Agustus 2015, sebagai muktamar yang bersejarah dan menghasilkan “dentuman”, begitu terasa dalam Dialog Publik bertema: “Hubungan Muhammadiyah dan Kekuasaan”, di Kantor Harian Tribun Timur, Jalan Cenderawasih Makassar, Kamis, 30 April 2015.
Dialog yang digagas Humas Panitia Muktamar ke-47 Muhammadiyah dan Aisyiyah, menghadirkan Anggota DPD RI Iqbal Parewangi, pakar komunikasi politik Unhas Adi Suryadi Culla, sejarawan UNM/Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulsel Mustari Bosra, akademi Unismuh Makassar/praktisi politik Mahmud Nuhung, dan akademisi UIN Alauddin/Sekretaris Majelis Tarjih Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulsel Abdillah Mustari.
Suasana dialog yang dipandu dosen Unismuh Makassar Luhur Prianto, serta dihadiri sejumlah Panitia Penerima Muktamar Muhammadiyah-Aisyiyah, kader persyarikatan Muhammadiyah, dan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi, cukup hangat karena materinya serius, tetapi diselingi canda dan tawa.
Iqbal Parewangi mengatakan, sepanjang sejarah berdirinya Muhammadiyah dan sejak kemerdekaan Republik Indonesia, barulah di era pemerintahan Jokowi – Jusuf Kalla, Muhammadiyah “tidak direken.”
“Kalau Muhammadiyah direken, wajah kabinet kita tentu tidak begini,” katanya.
Abdillah Mustari menimpali dengan mengatakan, Muhammadiyah seyogyanya menjadi bagian dari pertimbangan pengambilan kebijakan nasional.
Yang tak kalah pentingnya, kata Adi Suryadi Culla, yaitu kontrol politik Muhammadiyah terhadap kekuasaan.
Karena Muhammadiyah sekarang “tidak direken”, lanjutnya, maka tidak ada salahnya kalau Muhammadiyah mendirikan partai politik (parpol).
“Muhammadiyah tidak salah dan tidak berdosa kalau melahirkan parpol,” tegasnya.
Adi Suryadi Culla menambahkan, Muktamar Muhammadiyah 2015 di Makassar harus punya “dentuman”, antara lain dengan melahirkan Khittah Muhammadiyah Jilid II atau merekomendasikan berdirinya parpol baru yang dibidani Muhammadiyah.
Masyumi dan Parmusi
Sejarawan Universitas Negeri Makassar, Mustari Bosra mengatakan, Muhammadiyah merupakan salah satu pelopor berdirinya Partai Masyumi dan Parmusi, serta “memberi izin” kepada Amien Rais (saat menjabat Ketua Umum PP Muhammadiyah) guna mendirikan parpol (PAN).
“Muhammadiyah sudah pernah mendirikan parpol, tetapi boleh dikatakan dalam tanda petik bahwa Muhammadiyah belum pernah berhasil (merebut kekuasaan, red),” paparnya.
Akademi Unismuh Makassar/praktisi politik Mahmud Nuhung, secara tegas mengatakan, Muhammadiyah tidak perlu mendirikan parpol.
“Muhammadiyah tidak perlu mendirikan parpol, tetapi perlu mendirikan semacam lembaga pendidikan politik. Hasil dari pendidikan politik itulah yang dilempar ke masyarakat dan diserahkan kepada bangsa,” tandasnya.
Meramaikan Muktamar
Koordinator Bidang Syiar, Humas, dan Dokumentasi Panitia Penerima Muktamar ke-47 Muhammadiyah dan Aisyiyah, Husni Yunus, mengatakan, dialog publik yang digagasnya bersama teman-teman pengurus dan kader Muhammadiyah, merupakan bagian dari upaya meramaikan Muktamar Muhammadiyah/Aisyiyah.
“Ini bukan agenda resmi panitia muktamar, tetapi kami ingin melakukan sesuatu untuk meramaikan muktamar. Siapa tahu dari dialog publik yang kami adakan ini, akan lahir ide-ide brilian dan bermanfaat yang dapat dijadikan masukan bagi para peserta Muktamar Muhammadiyah nanti di Makassar,” tutur Husni. (asnawin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar