Jumat, 30 September 2011

Haji Tapi Koruptor



Ketika mengikuti salat Jumat secara berjamaah di Makassar, 30 September 2011, khatib membahas masalah haji. Beliau mengatakan bahwa ibadah haji sesungguhnya merupakan penutup dari lima rangkaian Rukun Islam. Artinya, seorang haji seharusnya sudah sempurna ibadahnya, sehingga tidak mungkin lagi melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, dan segala perbuatan yang tercela.

----------------------------------

Haji Tapi Koruptor

Oleh: Asnawin

Haji adalah rukun (tiang agama) Islam yang kelima setelah syahadat, salat, zakat, dan puasa. Haji juga merupakan sebutan untuk orang yang sudah melakukan ziarah ke Mekah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima.

Secara lughawi, haji berarti menyengaja atau menuju dan mengunjungi. Menurut etimologi bahasa Arab, kata haji mempunyai arti qashd, yakni tujuan, maksud, dan menyengaja.

Menurut istilah syara’, haji ialah menuju ke Baitullah dan tempat-tempat tertentu untuk melaksanakan amalan-amalan ibadah tertentu pula. Yang dimaksud dengan tempat-tempat tertentu dalam hal ini, selain Ka’bah dan Mas’a (tempat sa’i), juga Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Yang dimaksud dengan waktu tertentu ialah bulan-bulan haji yang dimulai dari Syawal sampai sepuluh hari pertama bulan Zulhijah. Adapun amal ibadah tertentu ialah thawaf, sa’i, wukuf, mazbit di Muzdalifah, melontar jumrah, mabit di Mina, dan lain-lain.

Menunaikan ibadah haji adalah bentuk ritual tahunan yang dilaksanakan kaum muslim sedunia yang mampu (material, fisik, dan keilmuan) dengan berkunjung dan melaksanakan beberapa kegiatan di beberapa tempat di Arab Saudi pada suatu waktu yang dikenal sebagai musim haji (bulan Zulhijah).

Hal ini berbeda dengan ibadah umrah yang bisa dilaksanakan sewaktu-waktu. Kegiatan inti ibadah haji dimulai pada tanggal 8 Zulhijah ketika umat Islam bermalam di Mina, wukuf (berdiam diri) di Padang Arafah pada tanggal 9 Zulhijah, dan berakhir setelah melempar jumrah (melempar batu simbolisasi setan) pada tanggal 10 Zulhijah. Masyarakat Indonesia lazim juga menyebut hari raya Idul Adha sebagai Hari Raya Haji, karena bersamaan dengan perayaan ibadah haji ini.

Orang yang sudah melaksanakan ibadah haji seharusnya sudah merupakan orang-orang pilihan, karena mereka berhaji seharusnya memang sengaja untuk menyempurnakan ibadahnya. Artinya, syahadatnya sudah bagus, shalatnya sudah bagus, puasanya sudah bagus, dan zakatnya sudah bagus.

Itulah sebabnya orang yang berangkat haji sering disebut sudah mendapat panggilan dari Allah SWT (untuk menyempurnakan ibadahnya. Sebaliknya, orang yang belum berhaji kerap disebut atau menyebut diri mereka belum mendapat panggilan, baik karena belum memiliki uang yang cukup, maupun dengan alasan lain.

Kenyataannya, memang banyak di antara kita yang memiliki uang banyak dan lebih dari cukup untuk membayar Ongkos Naik Haji (ONH), tetapi mereka belum berhaji. Mereka inilah yang mungkin masuk dalam kategori belum terpanggil atau belum mendapat panggilan dari Allah SWT.

Maka sungguh sangat mengherankan kalau orang yang telah mendapat panggilan dari Allah SWT dan mampu melaksanakan ibadah haji, ternyata masih juga melakukan perbuatan tercela, masih juga korupsi, masih juga selingkuh, dan lain-lain.

“Ibadah haji itu wajib bagi umat Islam yang mampu dan hanya diwajibkan sekali seumur hidup. Artinya, ibadah haji itu memang memiliki makna yang sangat mendalam. Mampu di sini, bukan hanya mampu dari segi uang dan fisik, tetapi mencakup semua hal. Mengapa diwajibkan hanya sekali dalam seumur hidup, karena ibadah haji itu memang berat dan memang diperuntukkah bagi orang-orang yang ingin menyempurnakan ibadahnya.”

Demikian kurang lebih isi ceramah seorang ustadz saat tampil sebagai khatib salat Jumat, di Masjid Nurut-tabiyah Kompleks Kantor Kopertis Wilayah IX Sulawesi, di Jl Bung, Km9, Makassar, Jumat, 30 September 2011.

“Jadi haji itu sesungguhnya bukan di sana (Arab Saudi, red), melainkan di sini, di Indonesia, atau di tempat tinggal kita masing-masing. Mabrurnya haji itu setelah kita kembali ke tanah air masing-masing dan terejawantahkan dalam perilaku sehari-hari,” tutur sang khatib.

Kalau semua haji melakukan dakwah, bersama para ustadz, minimal dua orang saja yang mereka ajak beragama Islam dengan benar, maka mungkin negara kita akan aman.

“Mungkin tidak lagi haji tapi koruptor, tidak ada lagi pejabat yang korupsi, tidak ada lagi aksi unjukrasa, tidak ada lagi aksi anarkis. Mungkin negara kita akan aman dan damai,” kata khatib yang wajahnya cukup bersih dan berusia sekitar 40 tahun itu.

Seusai salat Jumat, saya berpapasan dengan khatib tersebut dan langsung mengemukakan ketertarikan saya dengan isi ceramahnya. Tak tahan menyimpan perasaan dan ketertarikan, saya kemudian menulis artikel singkat ini. Semoga bermanfaat bagi penulis dan bagi banyak orang.

Makassar, 30 September 2011

Keterangan:
- Artikel reportase ini juga saya muat di Kompasiana.com, silakan klik http://edukasi.kompasiana.com/2011/09/30/haji-tapi-koruptor/

[Terima kasih atas kunjungan dan komentar Anda]

Tidak ada komentar: