Selasa, 08 November 2011

Area Politik



''Apa masalahnya kalau ulama dan profesor ingin menjadi gubernur?'' tanya sang kakek.

''Masalahnya, pilkada dan jabatan gubernur itu area politik, areanya para politisi, bukan areanya para ulama dan profesor,'' kata Musa Hitam.
--------------

Area Politik

Oleh : Asnawin

GOGO Putih sedang berbincang santai dengan cucunya, Musa Hitam, di dangau. Diiringi suara jangkrik dan burung-burung, serta ditemani ubi rebus hangat dan kopi tubruk, kedua lelaki berbeda usia cukup jauh itu, berbincang-bincang tentang berbagai hal, mulai masalah keluarga hingga pemilihan kepala daerah (pilkada). Ketika berbincang tentang pilkada, Musa Hitam mengungkapkan uneg-unegnya.

''Kek, saya sebenarnya tidak setuju kalau ulama dan profesor maju sebagai calon gubernur atau calon wakil gubernur,'' katanya.

Mendengar pernyataan cucunya itu, Gogo Putih tidak langsung bertanya, tetapi tangan kanannya bergerak mengangkat cangkir yang ada di depannya dan menyeruput kopi tubruknya yang sudah agak dingin.

''Mengapa kamu tidak setuju?'' tanya sang kakek setelah menurunkan kembali cangkirnya.

''Ulama itu 'kan pemuka agama yang bertugas mengayomi, membina, dan membimbing umat Islam, baik dalam masalah-masalah agama, maupum masalah sehari-hari yang diperlukan, baik dari sisi keagamaan maupun sosial kemasyarakatan,'' jawab Musa Hitam.

''Lalu, bagaimana dengan profesor?'' tanya sang kakek.

''Profesor itu 'kan guru besar, sebuah jabatan akademik di perguruan tinggi. Mereka adalah pakar dalam salah satu atau beberapa bidang ilmu. Selain mengajar, profesor juga wajib melakukan penelitian, melakukan pengabdian kepada masyarakat, serta membimbing para dosen muda dan mahasiswa supaya kelak bisa menjadi asisten profesor atau menjadi profesor,'' papar Musa Hitam.

''Apa masalahnya kalau ulama dan profesor ingin menjadi gubernur?'' tanya sang kakek.

''Masalahnya, pilkada dan jabatan gubernur itu area politik, areanya para politisi, bukan areanya para ulama dan profesor,'' kata Musa Hitam.

Dia kemudian mengemukakan pendapatnya bahwa ulama dan profesor belum tentu cocok 'hidup' di area politik, dan bisa dipastikan mereka tidak akan mampu menjalankan tugas dan fungsinya secara optimal sebagai ulama atau sebagai profesor.

Ulama dan profesor, kata Musa Hitam, selalu berbicara hal-hal yang ideal, sedangkan di dunia politik, apalagi seseorang yang menjabat gubernur, banyak masalah yang harus dihadapi dan tidak semua bisa diatasi secara ideal.

''Ketika seseorang sudah masuk ke area politik, termasuk dengan menjadi kandidat gubernur atau kandidat wagub, maka ia pasti berhadapan dengan banyak hal yang tidak ideal,'' tandas Musa Hitam.

''Jadi, kamu tidak setuju kalau ulama atau profesor menjadi gubernur?'' tanya sang kakek.

''Ya,'' tegas Musa Hitam.

Profesor dan Nelayan

''Saya bukan setuju atau tidak setuju. Saya menghargai niat baik ulama atau profesor yang ingin menjadi gubernur. Mudah-mudahan kalau terpilih nanti, mereka tetap konsisten dengan keulamaan atau keprofesorannya. Saya cuma khawatir kalau mereka sudah melakukan pelanggaran moral dan melawan kata hatinya dalam proses pilkada, tetapi ternyata mereka juga akhirnya tidak terpilih,'' ujar sang kakek.

Sambil menyimak penuturan kakeknya, Musa Hitam mengambil ubi rebus dan langsung memakannya.
Sang kakek kemudian menuturkan sebuah cerita pertemuan antara seorang profesor dan seorang nelayan.
Suatu hari, kata sang kakek, seorang profesor menyewa sebuah perahu untuk memancing di sebuah pulau.

Dalam perjalanan, sang profesor bertanya; "Bapak nelayan, apakah bapak punya pengetahuan tentang ilmu geografi?"

"Ilmu geografi yang saya ketahui adalah jika laut sudah mulai sering terjadi gelombang pasang, maka musim hujan segera tiba," jawab si nelayan.

Mendengar jawaban si nelayan, sang profesor mengatakan; ''Sayang sekali ilmu bapak sangat minim. Dengan tidak menguasai ilmu geografi, bapak sesungguhnya sudah kehilangan seperempat dari kehidupan bapak.''

Tak lama kemudian, sang profesor kembali bertanya.

''Apakah bapak punya pengetahuan tentang biologi dan sains?'' tanyanya.

''Pengetahuan saya tentang biologi hanya jenis ikan apa yang dapat dimakan dan ikan apa yang tidak boleh dimakan,'' jawab si nelayan.

Mendengar jawaban si nelayan, sang profesor mengatakan; ''Sayang sekali ilmu bapak sangat minim. Dengan tidak menguasai ilmu biologi dan sains, bapak sesungguhnya sudah kehilangan seperempat dari kehidupan bapak.''

Beberapa lama kemudian, sang profesor lagi-lagi bertanya.

''Apakah bapak pernah belajar matematika?'' tanyanya.

''Matematika yang saya ketahui hanya cara menimbang hasil tangkapan ikan, menghitung biaya yang sudah saya keluarkan, dan menjual hasil tangkapan ikan agar dapat menghasilkan keuntungan yang cukup bagi keluarga saya,'' tutur si nelayan.

Mendengar jawaban si nelayan, sang profesor mengatakan; ''Sayang sekali ilmu bapak sangat minim. Dengan tidak menguasai matematika, bapak sesungguhnya sudah kehilangan seperempat dari kehidupan bapak.''

Tetapi tak lama kemudian, awan tampak hitam.

"Apa artinya awan hitam yang menggantung di langit?" tanya sang profesor.

"Itu artinya badai dan topan akan segera datang. Apakah bapak bisa berenang?" tanya si nelayan.

''Saya tidak bisa,'' jawab sang profesor.

Mendengar jawaban sang profesor, si nelayan mengatakan; ''Sayang sekali bapak tidak bisa berenang. Saya bisa saja kehilangan tiga perempat kehidupan saya, tetapi bapak akan kehilangan seluruh kehidupan yang bapak miliki.''

Setelah berkata demikian, si nelayan langsung melompat ke laut dan berenang ke pulau terdekat, sedangkan sang profesor hanya bisa termangu dan mulai ketakutan karena air laut mulai mengombang-ambingkan perahu.

Mendengar cerita sang kakek, Musa Hitam tak bisa menahan tawanya, lalu keduanya pun tartawa-tawa di tengah sawah.

Makassar, 22 Juli 2007

Keterangan:
- Artikel ini dimuat di harian Pedoman Rakyat, Makassar, Senin, 23 Juli 2007, rubrik "lanskap", halaman 4

[Terima kasih atas kunjungan dan komentar Anda di blog Asnawin sang Journalist]

Tidak ada komentar: