Rabu, 05 Oktober 2011

Merasa Mampu

NEGERI Antah-berantah sedang punya hajatan. Beberapa bulan ke depan, rakyat akan memilih Pemimpin Negeri. Ada lima pasangan kandidat pemimpin. Dari 10 kandidat tersebut, hanya satu yang berkelamin perempuan. Namanya, La Becce, dan ia akan maju sebagai kandidat 01. Walaupun berkelamin perempuan, ia merasa mampu memimpin negeri dongeng tersebut. Ia diusung Partai Demokrasi Antah-berantah. Pasangannya seorang kiyai yang memimpin sebuah organisasi keagamaan.

--------------------------------

Merasa Mampu

(Oleh: Asnawin)

NEGERI Antah-berantah sedang punya hajatan. Beberapa bulan ke depan, rakyat akan memilih Pemimpin Negeri. Ada lima pasangan kandidat pemimpin. Dari 10 kandidat tersebut, hanya satu yang berkelamin perempuan. Namanya, La Becce, dan ia akan maju sebagai kandidat 01.

Walaupun berkelamin perempuan, ia merasa mampu memimpin negeri dongeng tersebut. Ia diusung Partai Demokrasi Antah-berantah. Pasangannya seorang kiyai yang memimpin sebuah organisasi keagamaan.

Kandidat kedua adalah Pemimpin Negeri yang sedang berkuasa, sedangkan pasangannya seorang profesor. Sang pemimpin usianya sudah agak uzur, tetapi ia merasa masih mampu memimpin lima tahun ke depan. Pasangan ini diusung Partai Manjulang Langit yang merupakan partai terbesar di Negeri Antah-berantah.

Kandidat ketiga seorang ustadz muda. Ia mantan aktivis mahasiswa dan kini menjadi anggota Parlemen Rakyat Antah-berantah mewakili Anak Negeri Suka Wangsit. Meskipun tidak punya pengalaman di bidang pemerintahan dan usianya baru sekitar 40 tahun, ia merasa mampu menjadi Pemimpin Negeri dan bertekad memberantas korupsi. Pasangannya seorang pengusaha. Mereka berdua diusung dua partai berbasis agama dan beberapa partai non-kursi.

Kandidat keempat mantan Kepala Staf Panglima Perang yang tentu saja lebih banyak berada di belakang meja. Badannya tinggi besar tapi berpembawaan tenang. Sangat jauh dari kesan sangar, angker, atau semacamnya sebagaimana umumnya mantan anggota pasukan keamanan.

Dengan berbekal pengalaman di bidang keamanan negeri dan pernah kuliah di sebuah perguruan tinggi swasta, ia sudah merasa mampu menjadi Pemimpin Negeri. Ia berpasangan dengan seorang pengusaha yang tinggi badannya hanya sekitar 160 cm (tinggi badan rata-rata rakyat Negeri Antah-berantah berdasarkan hasil survey yaitu 172 cm).

Pasangan ini diusung Partai Demonstrasi untuk Rakyat, sebuah partai baru yang pada pemilu raya lalu keluar sebagai peraih suara terbanyak kedua.

Kandidat kelima yaitu Wakil Pemimpin Negeri yang memilih 'bercerai' untuk berlawanan dengan Pemimpin Negeri pada pemilu raya nanti. Sebagai mantan Pemimpin Anak Negeri Suka Wangsit selama hampir dua periode, tentu saja ia merasa mampu menjadi Pemimpin Negeri.

Ia memilih berpasangan dengan Ketua Parlemen Rakyat Antah-berantah. Mereka diusung tiga partai yang kursinya cukup banyak di parlemen.

Karena pemilu raya sudah dekat, suasana negeri pun menjadi lebih ramai dari biasanya. Baliho, poster, dan umbul-umbul para pasangan kandidat menghiasai berbagai jalan, lorong, perumahan, warung kopi, dan berbagai tempat lainnya. Berbagai jargon politik dan janji dari para kandidat juga tidak ketinggalan.

Pembicaraan mengenai pemilu raya pun begitu ramai, mulai dari kantor-kantor pemerintahan, kantor bank, kampus, hingga di pasar tradisional. Di warung kopi apalagi, karena orang bisa ngobrol berjam-jam sambil memandang foto para kandidat Pemimpin Negeri di dinding.

Di sebuah warkop, empat orang yang berbeda usia dan latar belakang sedang asyik ngobrol ngalor-ngidul, tetapi seperti biasa pembicaraan tentang politik dan pemilu raya lebih dominan.

''Kita seharusnya bersyukur karena lima kandidat Pemimpin Negeri bersama wakilnya masing-masing, adalah orang-orang hebat. Ada ustadz, ada mantan Pemimpin Anak Negeri, ada perempuan, ada mantan wakil panglima perang, dan juga masih ada Pemimpin Negeri kita yang akan berpasangan dengan seorang profesor,'' tutur orang pertama yang wartawan sebuah koran harian.

''Mereka memang orang-orang hebat, tetapi belum tentu bisa mengubah keadaan. Belum tentu bisa mengurangi pengangguran. Belum tentu bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat. Belum tentu bisa meringankan biaya pendidikan,'' ujar orang kedua yang pensiunan pejabat di pemerintahan.

''Kalau tidak bisa mengubah keadaan, itu berarti mereka hanya merasa mampu, tetapi sebenarnya tidak punya kemampuan untuk menjadi pemimpin,'' kata orang ketiga yang dosen di sebuah perguruan tinggi swasta.

Profesor dan Orang Gila

Orang keempat yang pemimpin umum sebuah tabloid mingguan mengingatkan bahwa orang pintar belum tentu pandai. Orang pandai belum tentu mampu menjadi pemimpin.

Dia kemudian menceritakan tentang pertemuan seorang profesor dengan seorang gila yang sama-sama memancing di pinggir kali, tetapi sang profesor tidak tahu kalau orang yang ada di sampingnya adalah orang gila. Kebetulan di dekat mereka ada seekor katak yang cukup besar.

"Berapa lompatan yang diperlukan katak itu untuk sampai ke seberang kali?" tanya si gila.

Sang profesor memperkirakan lebar kali kurang lebih 1.250 meter, sedangkan katak besar itu dia perkirakan mampu melompat sejauh 50 cm, maka ia menyimpulkan bahwa katak itu butuh 2.500 lompatan.

Orang gila di sampingnya tertawa-tawa mendengarkan jawaban sang profesor. Dia mengatakan, katak itu hanya butuh dua kali lompatan untuk sampai di seberang kali.

Sang profesor tentu saja heran dan mulai curiga bahwa orang di sampingnya itu tidak waras.

''Lompatan pertama ke air. Setelah itu katak akan berenang. Sampai di ujung, katak baru akan melompat lagi ke darat,'' jelas si gila lalu tertawa lebih keras lagi.

Mendengar cerita tersebut, tiga rekan minum kopinya tak bisa menahan tawa. Suasana warung kopi pun menjadi ramai oleh tawa mereka.

Setelah tawa mereka agak reda, orang kedua yang pensiunan pejabat di pemerintahan, kemudian berkata; ''Dan kita semua bisa seperti profesor itu.''

Warung kopi lagi-lagi dipenuhi tawa keempat orang itu.

Orang kedua melanjutkan; ''Mudah-mudahan para kandidat Pemimpin Negeri kita tidak cuma pandai tetapi juga mampu melihat realita yang ada.''

Sepulang dari warung kopi, orang ketiga yang dosen di sebuah perguruan tinggi swasta merasa mendapatkan bahan cerita untuk dibagikan kepada mahasiswanya. Ia juga menyadari bahwa orang yang pandai dalam logika, bisa saja bodoh terhadap realita.

Orang pandai, orang yang pernah memimpin perguruan tinggi, orang yang berpengalaman di birokrat, orang yang ahli strategi perang di militer, orang yang menguasai ilmu agama, orang yang sudah malang-melintang di dunia politik, orang yang aktif di LSM, orang yang sukses di dunia usaha, mungkin banyak yang merasa mampu menjadi pemimpin.

Seperti orang kedua di warung kopi yang pensiunan pejabat pemerintahan, sang dosen pun berharap para kandidat Pemimpin Negeri tidak cuma pandai tetapi juga mampu melihat realita yang ada.

Makassar, 6 Mei 2007

(Dimuat di harian Pedoman Rakyat, Makassar, Senin, 7 Mei 2007)

[Terima kasih atas kunjungan dan komentar Anda]

Tidak ada komentar: