Rabu, 05 Oktober 2011

Penguasa atau Penghibur

 
''Enak sekali jadi ayah. Bisa enak-enak duduk di punggung keledai dan membiarkan anak berjalan kaki.''
Mendengar cibiran itu, Luqman menyuruh anaknya menggantikan posisinya. Dia berjalan dan anaknya naik keledai. Ketika melewati perkampungan penduduk, masyarakat setempat kemudian berkomentar.
''Dunia sudah terbalik. Orangtua sudah menjadi hamba bagi anaknya.''

------------------------------

Penguasa atau Penghibur

(oleh Asnawin)

APA perbedaan antara penguasa dan penghibur? Pertanyaan itu diajukan seorang wartawan kepada seorang seniman senior saat keduanya sedang santai di sebuah warung kopi.

''Penguasa, Raja, Presiden, Perdana Menteri, kadang-kadang harus mengambil keputusan yang tidak populer dan mungkin tidak bisa menyenangkan semua orang. Sebaliknya, seorang penghibur harus meraih popularitas. Kian banyak pujian dan tepuk tangan karena peran yang dibawakannya, semakin berhasillah ia sebagai penghibur.''

Si wartawan kembali bertanya; ''Apakah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) seorang penguasa atau seorang penghibur?''

''SBY itu penguasa yang sedang menghibur sejumlah pihak yang berada di sekelilingnya,'' jawab sang seniman dan keduanya lalu tertawa terbahak-bahak.

Seniman berambut gondrong dan berperut buncit itu kemudian mengatakan bahwa pergantian dan pergeseran beberapa menteri serta pejabat setingkat menteri yang dilakukan SBY, tidak lebih dari upaya menjaga keseimbangan politik agar pemerintahannya mendapat dukungan besar secara politis, terutama di parlemen.

Dia mengatakan, SBY pasti tidak lupa bahwa dirinya seorang penguasa, bahwa dirinya seorang pemimpin, bahwa dirinya seorang presiden dari sebuah negara berpenduduk lebih dari 200 juta jiwa.

''Sebagai pemimpin, SBY harus mengambil keputusan yang diyakini baik untuk kemajuan dan kepentingan banyak orang, meskipun keputusan itu tidak populer dan tidak bisa menyenangkan semua pihak,'' tutur sang seniman.

''Bisa juga ya, seorang seniman berbicara seperti seorang pengamat,'' kata si wartawan sambil tersenyum.

''Saya memang seniman, tetapi jangan lupa, saya juga seorang dosen. Dosen seni teater,'' jawab sang seniman lalu tertawa.

Seniman yang akhir-akhir ini cukup rajin beribadah itu kemudian mengatakan bahwa para Nabi dan Rasul yang diutus Allah ke muka bumi, menjalankan tugas mulia untuk membawa manusia ke jalan kebenaran, tetapi mereka dikecam, dimusuhi, dan diperangi.

Risiko itu harus dihadapi para Nabi dan Rasul, karena mereka memang tidak mencari popularitas, melainkan untuk kebaikan manusia. Itulah tujuannya.

Luqman Hakim

Sang seniman kemudian bercerita tentang kisah Luqman Hakim yang namanya terukir dalam Alquran.

Suatu hari, Luqman masuk kota bersama anaknya. Dia mengendarai seekor keledai dan putranya berjalan mengiringi. Saat melewati sebuah pasar, orang-orang langsung mencibir.

''Enak sekali jadi ayah. Bisa enak-enak duduk di punggung keledai dan membiarkan anak berjalan kaki.''

Mendengar cibiran itu, Luqman menyuruh anaknya menggantikan posisinya. Dia berjalan dan anaknya naik keledai. Ketika melewati perkampungan penduduk, masyarakat setempat kemudian berkomentar; ''Dunia sudah terbalik. Orangtua sudah menjadi hamba bagi anaknya.''

Tidak enak mendengarkan omongan itu, Luqman kemudian mengajak anaknya sama-sama berjalan kaki dan membiarkan keledainya melenggang tanpa penumpang.

''Bodoh sekali kedua orang itu. Untuk apa ada keledai kalau tidak ditunggangi,'' kata pengawal kerajaan saat Luqman dan anaknya lewat di depan Istana Raja.

Karena terus menerus mendapat sorotan, Luqman kemudian mengajak anaknya memanggul keledai dengan sebatang bambu.

''Mereka mungkin sudah gila. Keledai yang sehat itu bukannya ditunggangi, malah dipanggul,'' komentar warga.

Luqman kemudian menasehati anaknya agar tidak terus menerus mengikuti pendapat orang lain, karena kita pasti tidak akan mampu mengambil keputusan, karena setiap keputusan yang diambil pasti akan dinilai salah.

''Kuatkan keyakinanmu dalam mengambil keputusan,'' ujarnya.

Mendengar kisah tersebut, si wartawan tampak termenung.

''Kalau suatu saat nanti anda ditakdirkan menjadi wakil bupati atau wakil gubernur, apakah anda ingin menjadi penguasa atau menjadi penghibur?'' tanya sang seniman sambil menghirup kopinya.

Mendengar pertanyaan itu, si wartawan hanya tertawa.***

Makassar, 13 Mei 2007
(Dimuat di harian Pedoman Rakyat, Makassar, 14 Mei 2007)

[Terima kasih atas kunjungan dan komentar Anda]

Tidak ada komentar: